oleh: Abdul Aziz (Sastra Asia Barat ‘07)
Kebanggaan dan semangat yang meluap pasti akan kita rasakan ketika membaca puisi karya Taufiq Ismail ini, bahkan puisi ini dijadian pembuka pada pidato pengukuhan guru besar Amien Rais.
Semangat melawan ketidakadilan selama bertahun-tahun telah mencapai titik klimaksnya.Kini kereta reformasi telah berjalan selama 13 tahun. Namun, sebuah pertanyaan terus tergiang di telinga kita. Apa yang telah dicapai bangsa kita? Tiga belas tahun Indonesia belum juga mendapatkan predikat adil dan sejahtera. Apa sebab Indonesia masih jauh dari dua kata tersebut? Antonio Syafi’i dalam Super Leader Super Manager menyebutkan bahwa faktor terbesar Indonesia masih terpuruk adalah karena Indonesia mengalami krisis keteladanan terhadap pemimpin.
Sebuah ironi jika kita membandingkan pemimpin sekarang dengan pemimpin yang hidup pada zaman kemerdekaan. Pemimpin-pemimpin zaman kemerdekaan memiliki karisma yang tak diragukan.
Tetapi apa yang terjadi kini? Masa transisi yang diharapkan membawa perubahan dengan tampilnya tokoh pembaharu, senyatanya justru memunculkan orang-orang lama sisa orde baru. Bagaimana nasib anak muda di negeri ini? Ada kata bijak yang mengatakan “Jika kamu ingin melihat keadaan suatu bangsa lihatlah para pemudannya. Jika pemudanya baik maka negara itu akan baik, begitu pula sebaliknya”.
Sekarang kita lihat pada dunia kampus, dunia mahasiswa, di mana mayoritasnya merupakan pemuda. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah “anugerah” dan juga “musibah”. Menjadi “anugerah” karena tidak setiap pemuda beruntung mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Data menunjukkan bahwa mahasiwa di Indoensia tidak menjacapai 5% dari 240 juta jumlah penduduk Indonesia. Karena itu diharapkan jumlah mahasiswa yang sedikit tersebut mampu menjadi kunci jawaban bagi persoalan bangsa. Hal inilah mungkin yang menjadi “musibah” bagi mahasiwa karena, dengan demikian, mereka adalah milik negara dan tidak bisa lepas dari tangung jawab sosial.
0 komentar:
Posting Komentar