Karena kalian dan untuk kalian, teman-teman mahasiswa FIB, kami ada!

Sabtu, 22 Oktober 2011

Sastra yang Menggerakkan

“Kuliah di mana?”
“UGM.”
“Wah, keren~ Fakultas apa?”
“FIB, Ilmu Budaya.”
“Oh, FIB.”

Pernah mendapati dialog seperti itu? Ketika menyebut nama UGM, lawan bicara sedikit-banyak akan excited. Namun ketika menyebut FIB, reaksinya seringkali membuat patah hati. Datar, dingin, dan (mungkin) agak terkesan merendahkan. Ada apa dengan FIB? Ada apa dengan sastra? Meski jurusan di FIB tidak melulu sastra mayoritas awam masih menganggap sama FIB dan Fakultas Sastra. Sastra, mengapa dipandang sebelah mata?
Sastra seringkali dianggap sebagai gaya tulisan berbunga-bunga yang rumit dan njelimet. Sastra diasosiasikan dengan cerita karangan yang tidak nyata., hanya untuk dinikmati keindahan bahasanya, sebagai hiburan semata. Tak heran masih banyak yang bertanya, “Apa sih pentingnya sastra?”
Prof. A. Teeuw pernah mengatakan, sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan budaya. Sastra merupakan potret kehidupan suatu masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara sastra dengan realitas sosial-budaya. Seorang penulis yang memiliki kepekaan sosial tinggi akan dapat menangkap realita dan menjadikannya inspirasi berkarya. Namun, tak berhenti sampai di sana, sastra juga bisa menjadi penggerak untuk mengubah keadaan atau cara pandang.
 Tak sulit mencari contoh karya sastra seperti itu. Uncle’s Tom Cabin karya Harriet Stowe, misalnya. Berangkat dari keprihatinan penulisnya terhadap nasib budak kulit hitam, novel itu mampu membangkitkan gelombang protes terhadap kebijakan apartheid. Di negeri sendiri, ada Max Havelaar karya Multatuli, yang membuat gerah pemerintah kolonial. Pada masa Orde Baru, muncul sastra-sastra perlawanan sebagai bentuk ‘jeritan’ alternatif ketika jurnalisme lugas dibungkam. Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, dan Iwan Fals merupakan beberapa nama di antaranya. Larik, lirik, dan baris-baris satir karya-karya tersebut, tak dapat dipungkiri, turut andil dalam menumbangkan Orde Baru. Fenomena serupa tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, saat revolusi Mesir dan Tunisia, ungkapan-ungkapan para penyair banyak dijadikan jargon dan diteriakkan para demonstran.

Lantas, apa karya sastra yang baik harus berisi protes frontal kepada penguasa? Tidak juga. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, contohnya. Tanpa perlu bersikap frontal, potret semangat anak-anak Belitong di tengah keterbatasan itu ternyata mampu menyihir jutaan orang. Setelah tetralogi itu meledak di pasaran, Belitong pun turut bergeliat. Kebanjiran wisatawan, ekonomi masyarakat secara tidak langsung ikut terangkat. Pendidikan pun jadi lebih terperhatikan.

Begitulah. Sastra dan realita adalah sebuah timbal-balik. Sastra merupakan bentuk penyikapan kritis penulis terhadap kondisi sekitarnya. Melalui sastra, mereka, kita, meneriakkan resah. Melalui sastra, mereka, kita, tidak menghakimi langsung, tetapi menggugah kesadaran untuk berubah, bahwa kita harus melakukan sesuatu. Sastra yang menggerakkan.
Maka, masihkah kita memandang sebelah mata pada kekuatan sastra? (SS)

0 komentar:

Posting Komentar