Karena kalian dan untuk kalian, teman-teman mahasiswa FIB, kami ada!

Inagurasi 2007

Mahasiswa Sastra UGM tahun 2007

Fakultas kita 2007!

Fakultas Ilmu Budaya 2007

Inagurasi 2009

Mahasiswa Sastra UGM 2009

Inagurasi jaman doeloe

Waaaaw!

Cendikiawan Muda FIB

Ayo Maba tahun ini, kita bisa!

Sabtu, 22 Oktober 2011

OPINI: Memaknai Kembali Arti Mahasiswa

oleh: Abdul Aziz (Sastra Asia Barat ‘07)



Kebanggaan dan semangat yang meluap pasti akan kita rasakan ketika membaca puisi karya Taufiq Ismail ini, bahkan puisi ini dijadian pembuka pada pidato pengukuhan guru besar Amien Rais.
Semangat melawan ketidakadilan selama bertahun-tahun telah mencapai titik klimaksnya.Kini kereta reformasi telah berjalan selama 13 tahun. Namun, sebuah pertanyaan terus tergiang di telinga kita. Apa yang telah dicapai bangsa kita? Tiga belas tahun Indonesia belum juga mendapatkan predikat adil dan sejahtera. Apa sebab Indonesia masih jauh dari dua kata tersebut? Antonio Syafi’i dalam Super Leader Super Manager menyebutkan bahwa faktor terbesar Indonesia masih terpuruk adalah karena Indonesia mengalami krisis keteladanan terhadap pemimpin.
Sebuah ironi jika kita membandingkan pemimpin sekarang dengan pemimpin yang hidup pada zaman kemerdekaan. Pemimpin-pemimpin zaman kemerdekaan memiliki karisma yang tak diragukan.
Tetapi apa yang terjadi kini? Masa transisi yang diharapkan membawa perubahan dengan tampilnya tokoh pembaharu, senyatanya justru memunculkan orang-orang lama sisa orde baru. Bagaimana nasib anak muda di negeri ini? Ada kata bijak yang mengatakan “Jika kamu ingin melihat keadaan suatu bangsa lihatlah para pemudannya. Jika pemudanya baik maka negara itu akan baik, begitu pula sebaliknya”.
Sekarang kita lihat pada dunia kampus, dunia mahasiswa, di mana mayoritasnya merupakan pemuda. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah “anugerah” dan juga “musibah”. Menjadi “anugerah” karena tidak setiap pemuda beruntung mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Data menunjukkan bahwa mahasiwa di Indoensia  tidak menjacapai 5% dari 240 juta jumlah penduduk Indonesia. Karena itu diharapkan jumlah mahasiswa yang sedikit tersebut mampu menjadi kunci jawaban bagi persoalan bangsa. Hal inilah mungkin yang menjadi “musibah” bagi mahasiwa karena, dengan demikian, mereka adalah milik negara dan tidak bisa lepas dari tangung jawab sosial.

Tokoh: Pramoedya Ananta Toer


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Lahir dengan nama asli Pramoedya Ananta Mastoer di Blo pada 6 Februari 1925. Ia merupakan salah satu pengarang yang produktif di Sejarah Sastra Indonesia, tercatat ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan sudah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa.
Pram merupakan anak pertama dengan ayah seorang guru dan ibu berjualan nasi. Ketika kecil beliau akrab dipanggil dengan nama Pram. Pram masuk sekolah kejuruan radio di Surabaya dan selanjutnya bekerja menjadi juru ketik surat kabar Jepang di Jakarta ketika zaman pendudukan Jepang di Indonesia.
Selama zaman perang kemerdekaan, ia ikut masuk kelompok militer di Jawa dan sering ditempatkan di Jakarta. Selama berkarir di bidang militer, Pram rajin menulis cerita pendek dan buku, terutama ketika dipenjara Belanda di Jakarta, tahun 1948-1949.
Pada tahun 1950-an, Pram tinggal di Belanda dalam rangka program pertukaran pelajar. Sekembalinya ke Indonesia, Pram menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Ketika itu, gaya penulisannya mulai berubah.
Selama kurun waktu tadi, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia dan setelah itu ia juga mulai berteman dengan para penulis di Tiongkok.
Pada tahun 1960-an Pram ditahan oleh rezim Soeharto kareana pandangan pro-komunis Tiongkok-nya. Bukunya dilarang dan ia ditahan tanpa proses pengadilan di Pulau Nusakambangan, hingga akhirnya dibuang ke pulau Buru. Selama masa tahanan, ia tetap berkarya.
Pram meninggal di Jakarta pada 30 April 2006. Semasa hidupnya ia memperoleh banyak penghargaan. Hingga kini pun namanya masih terus bergema bersama karya-karyanya. (FNR)

Referensi: jv.wikipedia.org

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

Penghargaan yang diterima

 Freedom to Write Award,1988
* Wertheim Award, 1995
* Ramon Magsaysay Award, 1995
* UNESCO Madanjeet Singh Prize, 1996
* Doctor of Humane Letters, 1999
* Chancellor's distinguished Honor Award, 1999
* Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, 1999
* New York Foundation for the Arts Award, 2000
* Fukuoka Cultural Grand Prize , 2000
* The Norwegian Authors Union , 2004
* Centenario Pablo Neruda, 2004


  

Kinerja LEM FIB: Biasa-biasa Saja





Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB (LEM FIB) periode 2011 telah berjalan selama 3 bulan. Apakah LEM sudah memberikan perubahan yang berarti? Atau mungkin justru lebih buruk? Atau ternyata, tidak ada yang peduli terhadap keberadaan LEM FIB?

Demi mencari tahu tentang hal itu, dilakukan survei singkat kepada para mahasiswa FIB terkait kinerja LEM 3 bulan pertama.





Dari total 80 responden, hasil terbanyak menunjukkan kinerja LEM FIB masih dianggap biasa-biasa saja. Terutama untuk temen–teman kita yang berada di Sekolah Vokasi, 15 mahasiswa jurusan Kearsipan, menyatakan bahwa kinerja LEM FIB tidak lebih baik. Mereka tidak lagi merasakan ‘kepedulian’ LEM FIB terhadap kegiatan mereka, yang kini telah terpisah menjadi bagian Sekolah Vokasi. (ALT)

Sastra yang Menggerakkan

“Kuliah di mana?”
“UGM.”
“Wah, keren~ Fakultas apa?”
“FIB, Ilmu Budaya.”
“Oh, FIB.”

Pernah mendapati dialog seperti itu? Ketika menyebut nama UGM, lawan bicara sedikit-banyak akan excited. Namun ketika menyebut FIB, reaksinya seringkali membuat patah hati. Datar, dingin, dan (mungkin) agak terkesan merendahkan. Ada apa dengan FIB? Ada apa dengan sastra? Meski jurusan di FIB tidak melulu sastra mayoritas awam masih menganggap sama FIB dan Fakultas Sastra. Sastra, mengapa dipandang sebelah mata?
Sastra seringkali dianggap sebagai gaya tulisan berbunga-bunga yang rumit dan njelimet. Sastra diasosiasikan dengan cerita karangan yang tidak nyata., hanya untuk dinikmati keindahan bahasanya, sebagai hiburan semata. Tak heran masih banyak yang bertanya, “Apa sih pentingnya sastra?”
Prof. A. Teeuw pernah mengatakan, sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan budaya. Sastra merupakan potret kehidupan suatu masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara sastra dengan realitas sosial-budaya. Seorang penulis yang memiliki kepekaan sosial tinggi akan dapat menangkap realita dan menjadikannya inspirasi berkarya. Namun, tak berhenti sampai di sana, sastra juga bisa menjadi penggerak untuk mengubah keadaan atau cara pandang.
 Tak sulit mencari contoh karya sastra seperti itu. Uncle’s Tom Cabin karya Harriet Stowe, misalnya. Berangkat dari keprihatinan penulisnya terhadap nasib budak kulit hitam, novel itu mampu membangkitkan gelombang protes terhadap kebijakan apartheid. Di negeri sendiri, ada Max Havelaar karya Multatuli, yang membuat gerah pemerintah kolonial. Pada masa Orde Baru, muncul sastra-sastra perlawanan sebagai bentuk ‘jeritan’ alternatif ketika jurnalisme lugas dibungkam. Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, dan Iwan Fals merupakan beberapa nama di antaranya. Larik, lirik, dan baris-baris satir karya-karya tersebut, tak dapat dipungkiri, turut andil dalam menumbangkan Orde Baru. Fenomena serupa tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, saat revolusi Mesir dan Tunisia, ungkapan-ungkapan para penyair banyak dijadikan jargon dan diteriakkan para demonstran.

Lantas, apa karya sastra yang baik harus berisi protes frontal kepada penguasa? Tidak juga. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, contohnya. Tanpa perlu bersikap frontal, potret semangat anak-anak Belitong di tengah keterbatasan itu ternyata mampu menyihir jutaan orang. Setelah tetralogi itu meledak di pasaran, Belitong pun turut bergeliat. Kebanjiran wisatawan, ekonomi masyarakat secara tidak langsung ikut terangkat. Pendidikan pun jadi lebih terperhatikan.

Begitulah. Sastra dan realita adalah sebuah timbal-balik. Sastra merupakan bentuk penyikapan kritis penulis terhadap kondisi sekitarnya. Melalui sastra, mereka, kita, meneriakkan resah. Melalui sastra, mereka, kita, tidak menghakimi langsung, tetapi menggugah kesadaran untuk berubah, bahwa kita harus melakukan sesuatu. Sastra yang menggerakkan.
Maka, masihkah kita memandang sebelah mata pada kekuatan sastra? (SS)